Bermadzhab Sahabat dan Mengapa Harus Bermadzhab
Para Sahabat pada umumnya sebagai perawi bukan menyampaikan pemahamannya
Sering kita temukan bahwa ada
di antara mereka mengatakan bahwa tidak mau mengikuti pemahaman para ulama
khalaf (ulama masa kini) yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab
yang empat. Alasan mereka adalah bahwa mereka lebih memilih mengikuti
pemahaman para Salaful Ummah atau Salafush Sholeh atau pemahaman para Sahabat
Pada kenyataanya mereka tentu
tidak bertemu dengan para Sahabat untuk mendapatkan pemahaman para Sahabat.
Imam Nawawi dalam Majmu’
Syarah al-Muhadzdzab berkata “dan tidak boleh bagi orang awam bermazhab dengan
mazhab salah seorang dari pada imam-imam di kalangan para Sahabat radhiallahu
‘anhum dan selain mereka daripada generasi awal,walaupun mereka lebih alim dan
lebih tinggi darajatnya dibandingkan dengan (ulama’) selepas mereka; hal ini
karena mereka tidak meluangkan waktu sepenuhnya untuk mengarang (menyusun) ilmu
dan meletakkan prinsip-prinsip asas/dasar dan furu’/cabangnya. Tidak ada salah
seorang daripada mereka (para Sahabat) sebuah mazhab yang dianalisa dan diakui.
Sedangkan para ulama yang datang setelah mereka (para Sahabat) merupakan
pendukung mazhab para Sahabat dan Tabien dan kemudian melakukan usaha
meletakkan hukum-hukum sebelum berlakunya perkara tersebut; dan bangkit
menerangkan prinsip-prinsip asas/dasar dan furu’/cabang ilmu seperti (Imam)
Malik dan (Imam) Abu Hanifah dan selain dari mereka berdua.”
Perlu kita ingat bahwa nama
para Sahabat tercantum pada hadits pada umumnya sebagai perawi bukanlah
menyampaikan pemahaman atau hasil ijtihad atau istinbat mereka melainkan para
Sahabat sekedar mengulangi kembali apa yang diucapkan oleh Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam
Zaid bin Tsabit RA berkata,
“Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Semoga
Allah mengelokkan rupa orang yang mendengar Hadits dariku, lalu dia
menghafalnya-dalam lafadz riwayat lain: lalu dia memahami dan menghafalnya-
kemudian dia menyampaikannya kepada orang lain. Terkadang orang yang membawa
ilmu agama (hadits) menyampaikannya kepada orang yang lebih paham darinya,dan
terkadang orang yang membawa ilmu agama (hadits) tidak memahaminya” (Hadits
ShahihRiwayat Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, ad-Darimi, Ahmad, Ibnu
Hibban,at-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir, dan imam-imam lainnya).
Dari hadits tersebut kita
paham memang ada perawi (para Sahabat) yang sekedar menghafal dan menyampaikan
saja tanpa memahami hadits yang dihafal dan disampaikannya.
Jadi pendapat atau pemahaman
para Sahabat tidak bisa didapatkan dari membaca hadits. Ketika orang membaca
hadits maka itu adalah pemahaman orang itu sendiri bukan pendapat atau
permahaman para Sahabat
Mereka berijtihad dengan
pendapatnya terhadap hadits tersebut. Apa yang mereka katakan tentang hadits
tersebut, pada hakikatnya adalah hasil ijtihad dan ra’yu mereka sendiri.
Sumbernya memang hadits tersebut tapi apa yang mereka sampaikan semata lahir
dari kepala mereka sendiri. Sayangnya mereka mengatakan kepada orang banyak
bahwa apa yang mereka ketahui dan sampaikan adalah pemahaman para Sahabat
Tidak ada yang dapat menjamin
hasil upaya ijtihad mereka pasti benar dan terlebih lagi mereka tidak dikenal
berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak. Apapun hasil ijtihad mereka, benar
atau salah, mereka atas namakan kepada para Sahabat. Jika hasil ijtihad mereka
salah, inilah yang namanya fitnah terhadap para Sahabat.
Ustadz
Ahmad Sarwat,Lc,.MA dalam tulisan padahttp://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1357669611&title=adakah-mazhab-salaf.htm mengatakan
*****
awal kutipan ****
Mazhab Fiqih Yang Empat Adalah Salaf
Mazhab Fiqih Yang Empat Adalah Salaf
Sementara kita
memperbincangkan bahwa salaf itu bukan nama sebuah sistem, sebenarnya justru
keempat mazhab yang kita kenal itu hidupnya malah di masa salaf, alias di masa
lalu.
Al-Imam Abu Hanifah (80-150
H) lahir hanya terpaut 70 tahun setelah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
wafat. Apalah seorang Abu Hanifah bukan orang salaf? Al-Imam Malik lahir tahun
93 hijriyah, Al-Imam Asy-Syafi’i lahir tahun 150 hijriyah dan Al-Imam Ahmad bin
Hanbal lahir tahun 164 hijriyah. Apakah mereka bukan orang salaf?
Maka kalau ada yang bilang
bahwa mazhab fiqih itu bukan salaf, barangkali dia perlu belajar sejarah Islam
terlebih dahulu. Sebab mazhab yang dibuangnya itu ternyata lahirnya di
masa salaf. Justru keempat mazhab fiqih itulah the real salaf.
Sedangkan Ibnu Taimiyah,
Ibnul Qayyim dan Ibnu Hazm, kalau dilihat angka tahun lahirnya, mereka juga
bukan orang salaf, karena mereka hidup jauh ratusan tahun setelah Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam wafat. Apalagi Syeikh Bin Baz, Utsaimin dan
Al-Albani, mereka bahkan lebih bukan salaf lagi, tetapi malahan orang-orang
khalaf yang hidup sezaman dengan kita.
Sayangnya, Ibnu Taymiyah,
Ibnul Qayyim, apalagi Bin Baz, Utsaimin termasuk Al-Albani, tak satu pun dari
mereka yang punya manhaj, kalau yang kita maksud dengan manhaj itu adalah arti
sistem dan metodologi istimbath hukum yang baku. Bahasa mudahnya, mereka tidak
pernah menciptakan ilmu ushul fiqih. Jadi mereka cuma bikin fatwa, tetapi tidak
ada kaidah, manhaj atau polanya.
Kalau kita ibaratkan
komputer, mereka memang banyak menulis file word, tetapi mereka tidak
menciptakan sistem operasi. Mereka punya banyak fatwa, mungkin ribuan, tetapi
semua itu levelnya cuma fatwa, bukan manhaj apalagi mazhab.
Bukan Salaf Tetapi Dzahihiri
Sebenarnya kalau kita
perhatikan metodologi istimbath mereka yang mengaku-ngaku sebagai salaf,
sebenarnya metode mereka itu tidak mengacu kepada masa salaf. Kalau
dipikir-pikir, metode istimbah yang mereka pakai itu lebih cenderung kepada
mazhab Dzhahiriyah. Karena kebanyakan mereka berfatwa hanya dengan menggunakan
nash secara Dzhahirnya saja.
Mereka tidak menggunakan
metode istimbath hukum yang justru sudah baku, seperti qiyas, mashlahah
mursalah, istihsan, istishhab, mafhum dan manthuq. Bahkan dalam banyak kasus,
mereka tidak pandai tidak mengerti adanya nash yang sudah dinasakh atau sudah
dihapus dengan adanya nash yang lebih baru turunnya.
Mereka juga kurang pandai
dalam mengambil metode penggabungan dua dalil atau lebih (thariqatul-jam’i)
bila ada dalil-dalil yang sama shahihnya, tetapi secara dzhahir nampak agak
bertentangan. Lalu mereka semata-mata cuma pakai pertimbangan mana yang derajat
keshahihannya menurut mereka lebih tinggi. Kemudian nash yang sebenarnya
shahih, tapi menurut mereka kalah shahih pun dibuang.
Padahal setelah dipelajari
lebih dalam, klaim atas keshahihan hadits itu keliru dan kesalahannya sangat
fatal. Cuma apa boleh buat, karena fatwanya sudah terlanjur keluar, ngotot
bahwa hadits itu tidak shahih. Maka digunakanlah metode menshahihan hadits yang
aneh bin ajaib alias keluar dari pakem para ahli hadits sendiri.
Dari
metode kritik haditsnya saja sudah bermasalah, apalagi dalam mengistimbath
hukumnya. Semua terjadi karena belum apa-apa sudah keluar dari pakem yang sudah
ada. Seharusnya, yang namanya ulama itu, belajar dulu yang banyak tentang
metode kritik hadits, setelah itu belajar ilmu ushul agar mengeti dan tahu
bagaimana cara melakukan istimbath hukum. Lah ini belum punya ilmu yang
mumpuni, lalu kok tiba-tiba bilang semua orang salah, yang benar cuma saya
seorang.
***** akhir kutipan *****
***** akhir kutipan *****
Pada kenyataannya mereka
meneladani Muhammad bin Abdul Wahhab yang mengikuti pola pemahaman Ibnu
Taimiyyah yakni memahami Al Qur’an dan As Sunnah maupun perkataan ulama salaf
(terdahulu) bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi)
dengan akal pikiran mereka sendiri dan pemahamannya selalu berpegang pada nash
secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir dari sudut arti
bahasa (lughot) dan istilah (terminologi) saja
Muhammad bin Abdul Wahhab
adalah pengikut yang tidak pernah bertemu muka yakni mengikuti pola pemahaman
Ibnu Taimiyyah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak
(shahafi) dengan akal pikirannya sendiri karena masa kehidupannya terpaut 350
tahun lebih.
Pada
awalnya sanad guru (sanad ilmu) Muhammad bin Abdul Wahhab terjaga dengan
bertalaqqi (mengaji) pada ulama yang mengikuti Imam Mazhab yang empat namun
pada akhirnya Muhammad bin Abdul Wahhab mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah
yakni memahami Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab)
secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya sendiri sebagaimana informasi
dari kalangan mereka sendiri yang menyebut Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai
imam seperti padahttp://rizqicahya.wordpress.com/tag/imam-muhammad-bin-abdul-wahhab-bag-ke-1/
*****
awal kutipan *****
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yangpintar yang kemudian dikembangkan sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan
***** akhir kutipan *****
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yangpintar yang kemudian dikembangkan sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan
***** akhir kutipan *****
Begitupula
dari biografi Ibnu Taimiyyah pun kita mengetahui bahwa beliau termasuk
orang-orang yang memahami Al Qur’an dan as Sunnah bersandarkan mutholaah
(menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran sendiri seperti
contoh informasi darihttp://zakiaassyifa.wordpress.com/2011/05/10/biografi-tokoh-islam/
*****
awal kutipan ******
Ibn Taimiyyah juga seorang otodidak yang serius. Bahkan keluasan wawasan dan ketajaman analisisnya lebih terbentuk oleh berbagai literatur yang dia baca dan dia teliti sendiri.
***** akhir kutipan ******
Ibn Taimiyyah juga seorang otodidak yang serius. Bahkan keluasan wawasan dan ketajaman analisisnya lebih terbentuk oleh berbagai literatur yang dia baca dan dia teliti sendiri.
***** akhir kutipan ******
Contoh
yang lain seperti Al Albani yang sangat terkenal sebagai ulama yang
banyak menghabiskan waktunya untuk membaca hadits di balik perpustakaan
sebagaimana contoh informasi padahttp://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Nashiruddin_Al-Albani
****
awal kutipan *****
Semakin terpikatnya Syaikh al-Albani terhadap hadits Nabi, itulah kata yang tepat baginya. Bahkan hingga toko reparasi jamnya pun memiliki dua fungsi, sebagai tempat mencari nafkah dan tempat belajar, dikarenakan bagian belakang toko itu sudah diubahnya sedemikian rupa menjadi perpustakaan pribadi. Bahkan waktunya mencari nafkah pun tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan waktunya untuk belajar, yang pada saat-saat tertentu hingga (total) 18 jam dalam sehari untuk belajar, di luar waktu-waktu salat dan aktivitas lainnya (Asy Syariah Vol. VII/No. 77/1432/2011 hal. 12, Qomar Suaidi, Lc)
Semakin terpikatnya Syaikh al-Albani terhadap hadits Nabi, itulah kata yang tepat baginya. Bahkan hingga toko reparasi jamnya pun memiliki dua fungsi, sebagai tempat mencari nafkah dan tempat belajar, dikarenakan bagian belakang toko itu sudah diubahnya sedemikian rupa menjadi perpustakaan pribadi. Bahkan waktunya mencari nafkah pun tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan waktunya untuk belajar, yang pada saat-saat tertentu hingga (total) 18 jam dalam sehari untuk belajar, di luar waktu-waktu salat dan aktivitas lainnya (Asy Syariah Vol. VII/No. 77/1432/2011 hal. 12, Qomar Suaidi, Lc)
Syaikh
al-Albani pun secara rutin mengunjungi perpustakaan azh-Zhahiriyyah di Damaskus
untuk membaca buku-buku yang tak biasanya didapatinya di toko buku. Dan
perpustakaan pun menjadi laboratorium umum baginya, waktu 6-8 jam bisa habis di
perpustakaan itu, hanya keluar di waktu-waktu salat, bahkan untuk makan pun
sudah disiapkannya dari rumah berupa makanan-makanan ringan untuk dinikmatinya
selama di perpustakaan
***** akhir kutipan *****
***** akhir kutipan *****
Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda,“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya
sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR.
Ahmad)
Apakah orang yang otodidak
dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits ?
Syaikh Nashir al-Asad
menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja
tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis
ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya
sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para
ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut
shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang
mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama,
maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut
pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir
asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Orang yang berguru tidak
kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya
karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau
jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya
terikat dengan pemahaman dirinya sendiri menurut akal pikirannya sendiri.
Imam Ibn Hajar Al-Haitami
dalam kitab Al-Fatawa Al-Hadithiyyah menisbahkan kepada Imam Ibn ‘Uyainah,
beliau berkata: “Hadits itu menyesatkan kecuali bagi para fuqaha (ahli fiqih)”
Imam Ibn Hajar Al-Haitami
dalam kitab tersebut lalu mensyarahkan perkataan itu:
“Sesungguhnya hadits-hadits
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sama seperti Al-Qur’an dari sudut bahwa
keduanya mengandung lafaz umum yang maknanya khusus begitu juga sebaliknya,
bahkan ada juga yang mengandung nasikh mansukh yang tidak layak lagi beramal
dengannya. Bahkan dalam hadits juga mengandung lafaz-lafaz yang dzahirnya
membawa kepada tasybih seperti hadits yanzilu Rabbuna… yang mana tidak
diketahui maknanya melainkan golongan fuqaha’. Berbeda dengan mereka yang
sekedar mengetahui apa yang dzahir daripada hadits-hadits (khususnya
mutasyabihat) sehingga akhirnya dia (yang hanya faham hadits-hadits
mutasyabihat dengan makna dzahir) pun sesat seperti yang berlaku pada
sebahagian ahli hadits terdahulu dan masa kini seperti Ibnu Taimiyyah dan para
pengikutnya.” (Al-Fatawa Al-Hadithiyyah halaman 202)
Imam Ibn Hajar Al-Haitami
dalam penjelasan di atas tentang kesalahpahaman Ibnu Taimiyyah dan para
pengikutnya dalam memahami apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala
sifatkan untuk diriNya dan apa yang telah disampaikan oleh lisan RasulNya
selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna
dzahir sehingga membawa kepada tasybih.
Oleh
karena Ibnu Taimiyyah dalam memahami apa yang telah Allah Subhanahu wa
Ta’ala sifatkan untuk diriNya dan apa yang telah disampaikan oleh lisan
RasulNya selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu
dengan makna dzahir sehingga terjerumus kekufuran dalam i’tiqod yang mengakibatkan
beliau diadili oleh para qodhi dan para ulama ahli fiqih dari empat mazhab dan
diputuskan hukuman penjara agar ulama Ibnu Taimiyyah tidak menyebarluaskan
kesalahapahamannya sehingga beliau wafat di penjara sebagaimanayang dapat
diketahui dalam tulisan padahttps://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/04/13/ke-langit-dunia
atau padahttps://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/01/07/arsy-tidak-kosong/
Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitamy
berkata dengan menukil permasalahan-permasalahan Ibnu Taimiyyah yang menyalahi
kesepakatan umat Islam, yaitu : (Ibnu Taimiyyah telah berpendapat) bahwa alam
itu bersifat dahulu dengan satu macam, dan selalu makhluk bersama Allah. Ia
telah menyandarkan alam dengan Dzat Allah Swt bukan dengan perbuatan Allah
secara ikhtiar, sungguh Maha Luhur Allah dari penyifatan yang demikian itu.
Ibnu Taimiyyah juga berkeyakinan adanya jisim pada Allah Swt, arah dan
perpindahan. Ia juga berkeyakinan bahwa Allah tidak lebih kecil dan tidak lebih
besar dari Arsy. Sungguh Allah maha Suci atas kedustaan keji dan buruk ini
serta kekufuran yang nyata “. (Al-Fatawa Al-Haditsiyyah : 116)
Beliau (Syaikh Ibnu Hajar
Al-Haitamy) berkata ” Maka berhati-hatilahkamu, jangan kamu dengarkan apa yang
ditulis oleh Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah dan selain
keduanya dari orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya
dan Allah telah menyesatkannya dari ilmu serta menutup telinga dan hatinya dan
menjdaikan penghalang atas pandangannya. Maka siapakah yang mampu memberi
petunjuk atas orang yang telahAllah jauhkan?”. (Al-Fatawa Al-Haditsiyyah : 203)
Para
ulama ahlus sunnah terdahulu juga telah membantah pendapat atau pemahaman Ibnu
Taimiyyah yang telah banyak menyelisihi pendapat para ulama terdahulu yang
mengikuti Imam Mazhab yang empat sebagaimana contohnya termuat padahttps://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdfatau
pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/01/07/kontrofersi-paham-taimiyah/
Syeikh Ahmad Khatib
Al-Minangkabawi, ulama besar Indonesia yang pernah menjadi imam, khatib dan
guru besar di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi’i pada akhir abad
ke-19 dan awal abad ke-20 menjelaskan dalam kitab-kitab beliau seperti
‘al-Khiththah al-Mardhiyah fi Raddi fi Syubhati man qala Bid’ah at-Talaffuzh
bian-Niyah’, ‘Nur al-Syam’at fi Ahkamal-Jum’ah’ bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah
dan Ibnu Qoyyim Al Jauziah menyelisihi pemahaman Imam Mazhab yang empat.
Sebagaimana
tulisan padahttps://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/04/22/kabar-waktu-lampau/ bahwa di dalam kitab “Risalah Ahlussunnah
wal Jama’ah” karya Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari (pendiri pondok pesantren
Tebuireng Jombang Jawa Timur dan pendiri organisasi Nahdhatul Ulama) halaman
9-10 menasehatkan untuk tidak mengikuti pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab ,
Ibnu Taimiyah, dan kedua muridnya, Ibnul Qoyyim dan Ibnu Abdil Hadi
Begitupula
wasiat ulama dari Malaysia, Syaikh Abdullah Fahim sebagaimana contohnya yang
termuat pada http://hanifsalleh.blogspot.com/2009/11/wasiat-syeikh-abdullah-fahim.html
*****
awal kutipan *****
Supaya jangan berpecah belah oleh bangsa Melayu sendiri.Sekarang sudah ada timbul di Malaya mazhab Khawarij yakni mazhab yang keluardari mazhab 4 mazhab Ahlis Sunnah wal Jama`ah. Maksud mereka itu hendak mengelirukan faham awam yang sebati dan hendak merobohkan pakatan bangsa Melayuyang jati. Dan menyalahkan kebanyakan bangsa Melayu.
Supaya jangan berpecah belah oleh bangsa Melayu sendiri.Sekarang sudah ada timbul di Malaya mazhab Khawarij yakni mazhab yang keluardari mazhab 4 mazhab Ahlis Sunnah wal Jama`ah. Maksud mereka itu hendak mengelirukan faham awam yang sebati dan hendak merobohkan pakatan bangsa Melayuyang jati. Dan menyalahkan kebanyakan bangsa Melayu.
Hukum-hukum
mereka itu diambil daripada kitab Hadyur-Rasulyang mukhtasar daripada kitab
Hadyul-’Ibad dikarang akan dia oleh Ibnul Qayyim al-Khariji, maka Ibnul Qayyim
dan segala kitabnya ditolak oleh ulama AhlisSunnah wal Jama`ah.
***** akhir kutipan *****
***** akhir kutipan *****
Sebagaimana wasiat di atas,
para ulama memasukkan mazhab atau pemahaman Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya
yang bertemu langsung seperti Ibnu Qoyyim Al Jauziyah maupun yang tidak bertemu
langsung seperti Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai mazhab khawarij artinya
mazhab yang menyempal keluar (kharaja) dari mazhab Imam Mazhab yang empat.
Khawarij adalah bentuk jamak (plural) dari kharij (bentuk isim fail) artinya yang
keluar.
Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku diatas
kesesatan. Dan tangan Allah bersama jama’ah. Barangsiapa yang menyelewengkan
(menyempal), maka ia menyeleweng (menyempal) ke neraka“. (HR. Tirmidzi: 2168).
Al-Hafidz Ibnu Hajar
rahimahullah dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari
rahimahullah yang menyatakan: “Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa jama’ah
adalah as-sawadul a’zham (mayoritas kaum muslim)“
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat
pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan
maka ikutilah as-sawad al a’zham (mayoritas kaum muslim).” (HR.Ibnu Majah,
Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As
Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih)
Mayoritas kaum muslim pada
masa generasi Salafush Sholeh adalah orang-orang mengikuti Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam yakni para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in
Sedangkan pada masa sekarang
mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) adalah bagi siapa saja yang
mengikuti para ulama yang sholeh yang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat
Perbedaan di antara Imam
Mazhab yang empat semata-mata dikarenakan terbentuk setelah adanya furu’
(cabang), sementara furu’ tersebut ada disebabkan adanya sifat zanni dalam
nash. Oleh sebab itu, pada sisi zanni inilah kebenaran bisa menjadi banyak
(relatif), mutaghayirat disebabkan pengaruh bias dalil yang ada. Boleh jadi
nash yang digunakan sama, namun cara pengambilan kesimpulannya berbeda.
Jadi perbedaan pendapat di
antara Imam Mazhab yang empat tidak dapat dikatakan pendapat yang satu lebih
kuat (arjah atau tarjih) dari pendapat yang lainnya atau bahkan yang lebih
ekstrim mereka yang mengatakan pendapat yang satu yang benar dan yang lain
salah.
Perbedaan pendapat di antara
Imam Mazhab yang empat yang dimaksud dengan “perbedaan adalah rahmat”.
Sedangkan perbedaan pendapat di antara bukan ahli istidlal adalah
kesalahpahaman semata yang dapat menyesatkan orang banyak.
Salah
dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah karena bukan ahli istidlal akan
menimbulkan perselisihan seperti permusuhan, kebencian, saling membelakangi dan
memutus hubungan sehingga timbullah firqah dalam Islam sebagaimana yang telah
disampaikan dalam tulisan padahttps://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/01/23/timbullah-firqah/
Tulisan
dalam bentuk file pdf silahkan download padahttps://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2014/01/penyebab-timbulnya-firqah-dalam-islam.pdf dalam bentuk file word silahkan download
padahttps://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2014/01/penyebab-timbulnya-firqah-dalam-islam.docx
Perhatikanlah
tulisan-tulisan mereka contohnya padahttp://tukpencarialhaq.com/ maka akan dapat kita temukan bertebaran
nama-nama firqah yang masing-masing merasa paling benar seperti salafi jihadi,
salafi haraki, salafi Turotsi, salafi Yamani atau salafi Muqbil, salafi Rodja
atau salafi Halabi, salafi Sururi, salafi Quthbi atau salafi Ikhwani dan
firqah-firqah yang lain dengan nama pemimpinnya.
Contohnya
pengikut Ali Hasan Al Halabi dinamakan oleh salafi yang lain sebagai Halabiyun
sebagaimana contoh publikasi mereka padahttp://tukpencarialhaq.com/2013/11/17/demi-halabiyun-rodja-asatidzah-ahlussunnah-pun-dibidiknya/ berikut kutipannya
*****
awal kutipan *****
Kita lanjutkan sedikit pemaparan bukti dari kisah Haris, Jafar Salih dkk.
Cileungsi termasuk daerah terpapar virus Halabiyun Rodja pada ring pertama.
Tak heran jika kepedulian asatidzah begitu besar terhadap front terdepan (disamping daerah Jakarta tentunya).
Daurah-daurah begitu intensif dilaksanakan, jazahumullahu khaira. Kemarahan mereka telah kita saksikan bersama dan faktanya, amarah/ketidaksukaan ini juga mengalir deras pada sebagian dai yang menisbahkan diri dan dakwahnya sebarisan dengan kita.
Kita lanjutkan sedikit pemaparan bukti dari kisah Haris, Jafar Salih dkk.
Cileungsi termasuk daerah terpapar virus Halabiyun Rodja pada ring pertama.
Tak heran jika kepedulian asatidzah begitu besar terhadap front terdepan (disamping daerah Jakarta tentunya).
Daurah-daurah begitu intensif dilaksanakan, jazahumullahu khaira. Kemarahan mereka telah kita saksikan bersama dan faktanya, amarah/ketidaksukaan ini juga mengalir deras pada sebagian dai yang menisbahkan diri dan dakwahnya sebarisan dengan kita.
Berdusta
(atas nama Asy Syaikh Muqbil rahimahullah-pun) dilakukan, menjuluki sebagai
Ashhabul Manhaj sebagaimana yang dilontarkan dengan penuh semangat oleh
Muhammad Barmim, berupaya mengebiri pembicaraan terkait kelompok-kelompok menyimpang
sampaipun Sofyan Ruray mengumumkan melalui akun facebooknya keputusan
seperempat jam saja!!
****** akhir kutipan ******
****** akhir kutipan ******
Asy-Syathibi
mengatakan bahwa orang-orang yang berbeda pendapat atau pemahaman
sehingga menimbulkan perselisihan seperti permusuhan, kebencian, saling
membelakangi dan memutus hubungan. maka mereka menjadi firqah-firqah dalam
Islam sebagaimana yang Beliau sampaikan dalam kitabnya, al-I’tisham yang kami
arsip padahttps://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/11/27/ciri-aliran-sesat/
******
awal kutipan *****
Salah satu tanda aliran atau firqoh sesat adalah terjadinya perpecahan di antara mereka. Hal tersebut seperti telah diingatkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala:
Salah satu tanda aliran atau firqoh sesat adalah terjadinya perpecahan di antara mereka. Hal tersebut seperti telah diingatkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Dan janganlah kamu
menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang
keterangan yang jelas kepada mereka”, (QS. 3 : 105).
“Dan Kami telah timbulkan
permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari kiamat”, (QS. 5 : 64).
Dalam hadits shahih, melalui
Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda: “Sesungguhnya Allah ridha pada kamu tiga perkara dan membenci tiga
perkara. Allah ridha kamu menyembah-Nya dan janganlah kamu mempersekutukannya,
kamu berpegang dengan tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai berai…”
Kemudian Asy-Syathibi
mengutip pernyataan sebagian ulama, bahwa para sahabat banyak yang berbeda
pendapat sepeninggal Nabi shallallahu alaihi wasallam, tetapi mereka tidak bercerai
berai. Karena perbedaan mereka berkaitan dengan hal-hal yang masuk dalam
konteks ijtihad dan istinbath dari al-Qur’an dan Sunnah dalam hukum-hukum yang
tidak mereka temukan nash-nya.
Jadi, setiap persoalan yang
timbul dalam Islam, lalu orang-orang berbeda pendapat mengenai hal tersebut dan
perbedaan itu tidak menimbulkan permusuhan, kebencian dan perpecahan, maka kami
meyakini bahwa persoalan tersebut masuk dalam koridor Islam.
Sedangkan setiap persoalan
yang timbul dalam Islam, lalu menyebabkan permusuhan, kebencian, saling
membelakangi dan memutus hubungan, maka hal itu kami yakini bukan termasuk
urusan agama.
Persoalan
tersebut berarti termasuk yang dimaksud oleh Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam dalam menafsirkan ayat berikut ini. Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda kepada ‘Aisyah, “Wahai ‘Aisyah, siapa yang dimaksud dalam
ayat, “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka menjadi
bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka”, (QS. 6 :
159)?” ‘Aisyah menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Nabi
shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Mereka adalah golongan yang mengikuti
hawa nafsu, ahli bid’ah dan aliran sesat dari umat ini.”
******* akhir kutipan *******
******* akhir kutipan *******
Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam telah bersabda bahwa akan bermunculan “orang-orang muda” yang suka
berdalil dengan Al Qur’an dan As Sunnah namun mereka salah paham.
Telah bercerita kepada kami
Muhammad bin Katsir telah mengabarkan kepada kami Sufyan dari Al A’masy dari Khaitsamah
dari Suwaid bin Ghafalah berkata, ‘Ali radliallahu ‘anhu berkata “Aku mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersabda: Akan datang di akhir
zaman suatu kaum yang masih muda belia namun lemah pemahaman (sering salah
paham). Mereka berbicara dengan ucapan manusia terbaik (mengambilnya dari Al
Qur’an dan As Sunnah) namun mereka keluar dari agama bagaikan anak panah
melesat keluar dari target buruan yang sudah dikenainya. Iman mereka tidak
sampai ke tenggorokan mereka. (HR Bukhari 3342)
Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda, “Akan datang pada akhir zaman, orang-orang muda dan
berpikiran sempit. Mereka senantiasa berkata baik. Mereka keluar dari agama
Islam, sebagaimana anak panah lepas dari busurnya. Mereka mengajak manusia untuk
kembali kepada Al-Quran, padahal mereka sama sekali tidak mengamalkannya.
Mereka membaca Al-Quran, namun tidak melebihi kerongkongan mereka. Mereka
berasal dari bangsa kita (Arab). Mereka berbicara dengan bahasa kita (bahasa
Arab). Kalian akan merasa shalat kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan
shalat mereka, dan puasa kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan puasa
mereka.”
Kesalahpahaman
mereka dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah menjadi bencana bagi mereka.
Contoh bencana karena salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah maupun perkataan
ulama salaf (terdahulu) telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/02/15/penyembahan-ulama/
Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam telah memperingatkan dalam sabdanya bahwa kelak akan bemunculan
orang-orang yang bagus melaksanakan sholatnya, bagus melaksanakan puasanya,
bagus melaksanakan zakatnya, bagus melaksanakan ibadah haji ketika mereka
membaca Al Qur`an dan menyangka bahwa Al Qur`an itu adalah (hujjah) bagi
mereka, namun ternyata Al Qur`an itu adalah (bencana) atas mereka.
Telah menceritakan kepada
kami Abdu bin Humaid telah menceritakan kepada kami Abdurrazzaq bin Hammam
telah menceritakan kepada kami Abdul Malik bin Abu Sulaiman telah menceritakan
kepada kami Salamah bin Kuhail telah menceritakan kepada kami Zaid bin Harb Al
Juhani bahwasanya; Ia pernah bergabung di dalam suatu pasukan bersama Ali
radliallahu ‘anhu yang tengah berjalan menuju kaum Khawarij. Kemudian
berkatalah Ali radliallahu ‘anhu; Sungguh, aku telah mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Akan muncul suatu kaum dari umatku yang
pandai membaca Al Qur`an. Dimana, bacaan kalian tidak ada apa-apanya
dibandingkan dengan bacaan mereka. Demikian pula shalat kalian daripada shalat
mereka. Juga puasa mereka dibandingkan dengan puasa kalian. Mereka membaca Al
Qur`an dan mereka menyangka bahwa Al Qur`an itu adalah (hujjah) bagi mereka,
namun ternyata Al Qur`an itu adalah (bencana) atas mereka. Shalat mereka tidak
sampai melewati batas tenggorokan. Mereka keluar dari Islam sebagaimana anak
panah meluncur dari busurnya. (HR Muslim 1773)
Maksud sabda Rasulullah di
atas bahwa “shalat mereka tidak sampai melewati batas tenggorokan” artinya
sholat mereka tidak mempengaruhi hati mereka yakni sholatnya tidak mencegah
dari perbuatan keji dan mungkar sehingga mereka semakin jauh dari Allah Ta’ala
Rasulullah bersabda,
“Barangsiapa yang shalatnya tidak mencegah dari perbuatan keji dan mungkar,
maka ia tidak bertambah dari Allah kecuali semakin jauh dariNya” (diriwayatkan
oleh ath Thabarani dalam al-Kabir nomor 11025, 11/46)
Firman Allah ta’ala yang
artinya “Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar” (QS al
Ankabut [29]:45).
Selain bertambah jauh dari
Allah Ta’ala karena sholatnya tidak mencegah dari perbuatan keji dan mungkar,
juga disebabkan bertambah ilmu namun tidak bertambah hidayahnya.
Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda: “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah
hidayahnya, maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah
jauh“
Sungguh celaka orang yang
tidak berilmu. Sungguh celaka orang yang beramal tanpa ilmu Sungguh celaka
orang yang berilmu tetapi tidak beramal Sungguh celaka orang yang berilmu dan
beramal tetapi tidak menjadikannya muslim yang berakhlak baik atau muslim yang
ihsan.
Urutannya adalah ilmu, amal,
akhlak (ihsan)
Ilmu harus dikawal hidayah.
Tanpa hidayah, seseorang yang berilmu menjadi sombong dan semakin jauh dari
Allah ta’ala. Sebaliknya seorang ahli ilmu (ulama) yang mendapat hidayah
(karunia hikmah) maka hubungannya dengan Allah Azza wa Jalla semakin dekat
sehingga meraih maqom (derajat) disisiNya dan dibuktikan dengan dapat
menyaksikanNya dengan hati (ain bashiroh).
Sebagaimana diperibahasakan
oleh orang tua kita dahulu bagaikan padi semakin berisi semakin merunduk,
semakin berilmu dan beramal maka semakin tawadhu, rendah hati dan tidak
sombong.
Rasulullah bersabda:
“Kesombongan adalah menolak kebenaran dan menganggap remeh orang lain.”
(Shahih, HR. Muslim no. 91 dari hadits Abdullah bin Mas’ud)
Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda , “Tiada masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat
sebesar biji sawi dari kesombongan. kesombongan adalah menolak kebenaran dan
meremehkan manusia” (HR. Muslim)
Dalam sebuah hadits qudsi ,
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , “Allah berfirman, Keagungan
adalah sarungKu dan kesombongan adalah pakaianKu. Barangsiapa merebutnya (dari
Aku) maka Aku menyiksanya”. (HR. Muslim)
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Kemuliaan adalah sarung-Nya dan kesombongan adalah
selendang-Nya. Barang siapa menentang-Ku, maka Aku akan mengadzabnya.” (HR
Muslim)
Seorang lelaki bertanya pada
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam “Musllim yang bagaimana yang paling
baik?” “Ketika orang lain tidak (terancam) disakiti oleh tangan dan lisannya”
Jawab Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.
Rasulullah shallallahu aliahi
wasallam bersabda “Tiada lurus iman seorang hamba sehingga lurus hatinya, dan
tiada lurus hatinya sehingga lurus lidahnya“. (HR. Ahmad)
Sayyidina Umar ra
menasehatkan, “Jangan pernah tertipu oleh teriakan seseorang (dakwah bersuara /
bernada keras). Tapi akuilah orang yang menyampaikan amanah dan tidak menyakiti
orang lain dengan tangan dan lidahnya“
Sayyidina Umar ra juga
menasehatkan “Orang yang tidak memiliki tiga perkara berikut, berarti imannya
belum bermanfaat. Tiga perkara tersebut adalah santun ketika mengingatkan orang
lain; wara yang menjauhkannya dari hal-hal yang haram / terlarang; dan akhlak
mulia dalam bermasyarakat (bergaul)“.
Tujuan beragama adalah
menjadi muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlakul karimah
Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan
Akhlak.” (HR Ahmad)
Firman Allah ta’ala yang
artinya,
“Sungguh dalam dirimu
terdapat akhlak yang mulia”. (QS Al-Qalam:4)
“Sesungguhnya telah ada pada
(diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut
Allah”. (QS Al-Ahzab:21)
Lalu dia bertanya lagi,
‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (khasyyah)
kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (bermakrifat), maka jika kamu tidak
melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11)
Firman Allah ta’ala yang
artinya “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya,
hanyalah ulama” (QS Al Faathir [35]:28)
Muslim yang takut kepada
Allah karena mereka selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla atau mereka
yang selalu menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh), setiap akan
bersikap atau berbuat sehingga mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang
dibenciNya , menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan
mungkar sehingga terbentuklah muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang
sholeh atau muslim yang ihsan.
Muslim yang memandang Allah
ta’ala dengan hati (ain bashiroh) atau muslim yang bermakrifat adalah muslim
yang selalu meyakini kehadiranNya, selalu sadar dan ingat kepadaNya.
Imam Qusyairi mengatakan
“Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang
membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut
senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa
yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid
(penyaksi)”
Ubadah bin as-shamit ra.
berkata, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata: “Seutama-utama
iman seseorang, jika ia telah mengetahui (menyaksikan) bahwa Allah selalu
bersamanya, di mana pun ia berada“
Rasulullah shallallahu alaihi
wasallm bersabda “Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah
selalu menyertaimu dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)
Sebagaimana
yang telah disampaikan dalam tulisan padahttps://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/10/20/tetaplah-sebagai-ormas/bahwa
Prof. Dr Yunahar Ilyas, Lc, MA menyampaikan slogan “Muhammadiyah bukan
Dahlaniyah” artinya Muhammadiyah hanyalah sebuah organisasi kemasyarakatan atau
jama’ah minal muslimin bukan sebuah sekte atau firqoh yang mengikuti pemahaman
KH Ahmad Dahlan karena KH Ahmad Dahlan sebagaimana mayoritas kaum muslim
(as-sawadul a’zham ) pada masa sekarang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Sebagaimana
yang disampaikan oleh Prof.Dr Yunahar
Ilyas, Lc, MA , contohnya pada http://www.sangpencerah.com/2013/08/profdr-yunahar-ilyas-lc-ma-ini.html bahwa Kyai Haji Ahmad Dahlan pada masa
hidupnya mengikuti fiqh mahzab Syafi’i, termasuk mengamalkan qunut dalam shalat
subuh dan shalat tarawih 23 rakaat.
Namun, setelah berdiriya
Majelis Tarjih, ormas Muhammadiyah tidak lagi mengikuti apa yang telah
diteladani oleh pendirinya Kyai Haji Ahmad Dahlan
Jadi ketika sebuah jama’ah
minal muslimin atau sebuah kelompok kaum muslim atau sebuah ormas menetapkan
untuk mengikuti pemahaman seseorang atau pemahaman sebuah majlis dari kelompok
tersebut terhadap Al Qur’an dan As Sunnah dan tidak berkompetensi sebagai Imam
Mujtahid Mutlak atau ahli istidlal maka berubahlah menjadi sebuah sekte atau
firqah.
Sedangkan Ibnu Taimiyyah,
Ibnu Qoyyim Al Jauziah, Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad Abduh ataupun
Albani maupun Muqbil bin Hadi al-Wadi’i, mereka bukanlah Imam Mujtahid Mutlak
sehingga tidak patut untuk ditaklidi (diikuti) oleh kaum muslim
Ulama
yang sholeh terdahulu kita dari kalangan Sunni Syafei yang ternama sampai
Semenanjung Tanah Melayu, Brunei Darussalam, Singapur sampai Pathani, negeri
Siam atau Thailand yakni KH. Sirajuddin Abbas (lahir 5 Mei 1905, wafat 23
Ramadhan 1401H atau 5 Agustus 1980) dalam buku berjudul I’tiqad Ahlussunah Wal
Jamaah yang diterbitkan oleh Pustaka Tarbiyah Baru, Jl Tebet Barat XA No.28,
Jakarta Selatan 12810 dalam cetakan ke 8, 2008 tercantum dua buah sekte atau
firqoh dalam Islam yakni firqoh berdasarkan pemahaman Ibnu Taimiyyah dari
halaman 296 sampai 351 dan firqoh berdasarkan pemahaman Muhammad bin Abdul
Wahhab dari halaman 352 sampai 380.
Orang-orang menyematkan
sebutan ahlus sunnah atau bahkan syaikhul Islam kepada Muhammad bin Abdul
Wahhab ataupun Ibnu Taimiyyah adalah sebuah bentuk penghormatan bukan jaminan
bahwa mereka berkompetensi dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah maupun
perkataan atau pendapat ulama Salaf apalagi jaminan maksum atau terbebas dari
kesalahan.
Imam Mazhab yang empat
walaupun mereka tidak maksum namun mereka diakui oleh jumhur ulama sejak dahulu
kala sampai sekarang sebagai ulama yang berkompetensi sebagai Imam Mujtahid
Mutlak sehingga patut untuk dijadikan pemimpin atau imam ijtihad dan istinbat
bagi kaum muslim.
Kelebihan lainnya, Imam
Mazhab yang empat adalah masih bertemu dengan Salafush Sholeh.
Contohnya Imam Syafi”i
~rahimahullah adalah imam mazhab yang cukup luas wawasannya karena bertemu atau
bertalaqqi (mengaji) langsung kepada Salafush Sholeh dari berbagai tempat,
mulai dari tempat tinggal awalnya di Makkah, kemudian pindah ke Madinah, pindah
ke Yaman, pindah ke Iraq, pindah ke Persia, kembali lagi ke Makkah, dari sini
pindah lagi ke Madinah dan akhirnya ke Mesir. Perlu dimaklumi bahwa perpindahan
beliau itu bukanlah untuk berniaga, bukan untuk turis, tetapi untuk mencari
ilmu, mencari hadits-hadits, untuk pengetahuan agama. Jadi tidak heran kalau
Imam Syafi’i ~rahimahullah lebih banyak mendapatkan hadits dari lisannya
Salafush Sholeh, melebihi dari yang didapat oleh Imam Hanafi ~rahimahullah dan
Imam Maliki ~rahimahullah
Imam Mazhab yang empat adalah
para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa hadits” yakni
membawanya dari Salafush Sholeh yang meriwayatkan dan mengikuti sunnah Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam
Jadi kalau kita ingin ittiba
li Rasulullah (mengikuti Rasulullah) atau mengikuti Salafush Sholeh maka kita
menemui dan bertalaqqi (mengaji) dengan para ulama yang sholeh dari kalangan
“orang-orang yang membawa hadits”.
Para ulama yang sholeh dari
kalangan “orang-orang yang membawa hadits” adalah para ulama yang sholeh yang
mengikuti salah satu dari Imam Mazhab yang empat.
Para ulama yang sholeh yang
mengikuti dari Imam Mazhab yang empat adalah para ulama yang sholeh yang
memiliki ketersambungan sanad ilmu (sanad guru) dengan Imam Mazhab yang empat
atau para ulama yang sholeh yang memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam
Mazhab yang empat.
Jadi bermazhab dengan Imam
Mazhab yang empat adalah sebuah kebutuhan bagi kaum muslim yang tidak lagi
bertemu dengan Rasulullah maupun Salafush Sholeh.
Pada hakikatnya sangat sulit
untuk memenuhi kompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak pada masa sekarang ini
karena tidak lagi dapat bertemu dengan para perawi hadits atau Salafush Sholeh.
Bahasa tulisan mempunyai
keterbatasan dibandingkan dengan bertalaqqi, mendapatkan ilmu agama dengan
bertemu atau mengaji.
Sebagaimana
tulisan ust Ahmad Zarkasih yang kami arsip padahttps://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/08/06/matang-sebelum-waktunya/bahwa
mereka terlampau dini dan masih bau kencur untuk mengkritik para Imam mazhab
yang berbeda pendapat dalam menentukan hukum-hukum fiqih, yang kebanyakan
memang masalah ijtihadiy.
Berikut kutipannya
*****
awal kutipan *****
Memang wajar, bahkan sangat wajar sekali jika ada seseorang mempertanyakan adanya perbedaan pandangan. Tapi tidak wajar kalau mereka membawa-bawa label “Kembali pada Al Qur’an dan As Sunnah” kemudian meyalahkan para Imam Mujtahid, seakan-akan para Imam Mujtahid tidak mengerti isi ayat dan kandungan hadits.
Memang wajar, bahkan sangat wajar sekali jika ada seseorang mempertanyakan adanya perbedaan pandangan. Tapi tidak wajar kalau mereka membawa-bawa label “Kembali pada Al Qur’an dan As Sunnah” kemudian meyalahkan para Imam Mujtahid, seakan-akan para Imam Mujtahid tidak mengerti isi ayat dan kandungan hadits.
Justru para Imam Mujtahid
orang yang paling mengerti madlul ayat dan hadits dibanding kita-kita yang
masih berlabel “Muqollid”, bahkan dengan strata taqlid paling rendah.
Mereka bilang “Saya tidak mau
terpaku dengan ajaran orang tua dan guru saya. Saya mau mencari ajaran yang
benar”. Hal ini yang membuat kita semakin khawatir. Dengan umur yang masih
seperti itu, mereka begitu yakin untuk tidak ber-taqlid (ikuti) kepada yang
memang seharusnya ia taqlid.
Mereka menolak untuk menerima
sepenuhnya apa yang ia dapatkan dari rumah, juga dari gurunya tapi mereka tidak
punya pegangan untuk bisa berdiri dan menjadi sandaran sendiri.
Akhirnya, yang dilakukan
kembali mencari di jalanan, seperti dengan buka laptop, searching google dan
akhirnya bertemu dengan ratusan bahkan ribuan hal yang sejatinya mereka belum
siap menerimanya semua. Sampai saat ini kita masih tidak memandang google
sebagai sumber pencarian ilmu yang valid dan aman. Mendatangi guru dan
bermuwajahah dengan beliau itu yang diajarkan syariah dan jalan yang paling
aman.
Hal yang kita khawatirkan,
nantinya mereka besar menjadi muslim yang membenci para imam mazhab dengan
seluruh ijtihadnya. Dan kelompok pemuda semacam ini sudah kita temui banyak
disekitar kita sekarang.
Dengan dalih “Kembali kapada
al-quran dan sunnah”, mereka dengan pongah berani mecemooh para imam, padahal
apa yang dipermasalahkan itu memang benar-benar masalah yang sama sekali tidak
berdampak negatif kalau kita berbeda didalamnya.
Atau lebih parah lagi, ia
menjadi orang yang anti dengan syariahnya sendiri. Karena sejak kecil sudah
terlalu matang dengan banyak keraguan di sana sini.
Seperti orang yang belum
matang dengan agamanya sendiri tapi kemudian sudah belajar perbandingan agama.
Ujung-ujungnya mereka jadi atheism, karena banyak kerancuan yang dia temui.
Sama
juga orang yang belum matang fiqih satu mazhab, kemudian mereka tiba-tiba
belajar perbandingan mazhab. Satu mazhab belum beres, kemudian sudah
dibanding-bandingkan. Ujung-ujungnya jadi Liberal, yang menganggap bahwa
ijtihad itu terbuka untuk siapa saja dan dimana saja. Jadi sebebas-bebasnya lah
mereka menfasirkan ini itu.
***** akhir kutipan *****
***** akhir kutipan *****
Sebagaimana
yang telah disampaikan dalam tulisan padahttps://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/12/21/terhasut-mengikuti-shahafi/bahwa
mereka adalah korban hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang
dilancarkan oleh kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi
Firman Allah ta’ala yang
artinya,
“orang-orang yang paling
keras permusuhannya terhadap orang beriman adalah orang-orang Yahudi dan
orang-orang musyrik” (QS Al Maaidah [5]: 82)
Mereka terhasut untuk
membuang-buang waktu atau menyibukkan diri mengulang kembali apa yang telah
dikerjakan dan dihasikan oleh Imam Mazhab yang empat namun mereka tidak
berkompetensi sebagai mujtahid mutlak.
Protokol Zionis yang
ketujuhbelas
…Kita telah lama menjaga
dengan hati-hati upaya mendiskreditkan para ulama non-Yahudi (termasuk Imam
Mazhab yang empat) dalam rangka menghancurkan misi mereka, yang pada saat ini
dapat secara serius menghalangi misi kita. Pengaruh mereka atas masyarakat mereka
berkurang dari hari ke hari. Kebebasan hati nurani yang bebas dari paham agama
telah dikumandangkan dimana-mana. Tinggal masalah waktu maka agama-agama itu
akan bertumbangan…..
Salah
satu upaya mengdiskreditkan Imam Mazhab yang empat adalah menyalahgunakan
perkataan atau pendapat Imam Mazhab yang empat yang jsutru untuk meninggalkan
apa yang telah dikerjakan dan dihasilkan oleh Imam Mazhab yang empat
sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/12/13/tidak-bermazhab/
Mereka yang “kembali kepada
Al Qur’an dan As Sunnah” secara otodidak (shahafi) meninggalkan Imam Mazhab
yang empat dengan alasan seperti “kita harus mengikuti hadits shahih bukan
mengikuti ulama.
Mereka mengingatkan bahwa
Al-Imam Al-Syafi’i sendiri berkata, “Idza shahha al-hadits fahuwa mazhabi
(apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits itulah mazhabku)”.
Banyak kalangan yang tidak
memahami dengan benar perkataan Beliau. Sehingga, jika yang bersangkutan
menemukan sebuah hadits shahih yang menurut pemahaman mereka bertentangan
dengan pendapat mazhab Syafi’i maka yang bersangkutan langsung menyatakan bahwa
pendapat mazhab itu tidak benar, karena Imam Syafi’i sendiri mengatakan bahwa
hadits shahih adalah mazhab beliau. Atau ketika seseorang menemukan sebuah
hadits yang shahih, yang bersangkutan langsung mengklaim, bahwa ini adalah
mazhab Syafi’i.
Imam Al-Nawawi sepakat dengan
gurunya ini dan berkata, “(Ucapan Al-Syafi’i) ini hanya untuk orang yang telah
mencapai derajat mujtahid madzhab. Syaratnya: ia harus yakin bahwa Al-Syafi’i
belum mengetahui hadits itu atau tidak mengetahui (status) kesahihannya. Dan
hal ini hanya bisa dilakukan setelah mengkaji semua buku Al-Syafi’i dan buku
murid-muridnya. Ini syarat yang sangat berat, dan sedikit sekali orang yang
mampu memenuhinya. Mereka mensyaratkan hal ini karena Al-Syafi’i sering kali
meninggalkan sebuah hadits yang ia jumpai akibat cacat yang ada di dalamnya,
atau mansukh, atau ditakhshish, atau ditakwil, atau sebab-sebab lainnya.”
Al-Nawawi juga mengingatkan
ucapan Ibn Khuzaimah, “Aku tidak menemukan sebuah hadits yang sahih namun tidak
disebutkan Al-Syafii dalam kitab-kitabnya.” Ia berkata, “Kebesaran Ibn
Khuzaimah dan keimamannya dalam hadits dan fiqh, serta penguasaanya akan
ucapan-ucapan Al-Syafii, sangat terkenal.” [“Majmu’ Syarh Al-Muhadzab” 1/105]
Asy-Syeikh Abu Amru
mengatakan: ”Barang siapa menemui dari Syafi’i sebuah hadits yang bertentangan
dengan mazhab beliau, jika engkau sudah mencapai derajat mujtahid mutlak, dalam
bab, atau maslah itu, maka silahkan mengamalkan hal itu“
Kajian
qoul Imam Syafi’i yang lebih lengkap, silahkan membaca tulisan, contohnya pada
http://generasisalaf.wordpress.com/2013/06/15/memahami-qoul-imam-syafii-hadis-sahih-adalah-mazhabku-bag-2/
Perlu kita ingat bahwa hadits
yang telah terbukukan dalam kitab-kitab hadits jumlahnya jauh di bawah jumlah
hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hafidz (minimal 100.000 hadits) dan
jauh lebih kecil dari jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hujjah
(minimal 300.000 hadits). Sedangkan jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal
oleh Imam Mazhab yang empat, jumlahnya lebih besar dari jumlah hadits yang
dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hujjah
Mereka pada umumnya juga
salah memahami pendapat seperti Imam Syaukani yang berkata: “Seseorang yang
hanya mengandalkan taqlid (mengikut pandangan tertentu) seumur hidupnya tidak
akan pernah bertanya kepada sumber asli yaitu “Qur’an dan Hadits”, dan ia hanya
bertanya kepada pemimpin mazhabnya. Dan orang yang senantiasa bertanya kepada
sumber asli Islam tidak dikatagorikan sebagai Muqallid (pengikut)”.
Mereka salah memahami
perkataan Imam Syaukani yang terbatas bagi siapa saja yang mampu mencapai
tingkatan mujtahid mutlak
Berikut
kami kutipkan penjelasan tentang derajat mujtahid mutlak dan tingkatan mufti
dalam madzhab As Syafi’ang bersumber dari:http://almanar.wordpress.com/2010/09/21/tingkatan-mufti-madzhab-as-syafi’i/
******
awal kutipan ******
Definisi madzhab adalah apa-apa yang dipilih oleh Imam As Syafi’i dan para pengikutnya terhadap hukum dalam berbagai masalah, sebagaimana disebutkan Imam Al Mahalli dalam Syarh beliau terhadap Al Minhaj. (lihat, Hasyiyatani Qalyubi wa Umairah, 1/7)
Definisi madzhab adalah apa-apa yang dipilih oleh Imam As Syafi’i dan para pengikutnya terhadap hukum dalam berbagai masalah, sebagaimana disebutkan Imam Al Mahalli dalam Syarh beliau terhadap Al Minhaj. (lihat, Hasyiyatani Qalyubi wa Umairah, 1/7)
Dengan definisi di atas,
otomatis madzhab As Syafi’i tidak hanya mencakup pendapat Imam As Syafi’i saja,
namun, juga pendapat para pengikutnya. Nah, siapa para pengikut yang berhak
memberi kontribusi kepada madzhab? Pendapatnya diperhitungkan sebagai pendapat
madzhab? Tentu, itu bisa terjawab dengan pemaparan tingkatan para mufti yang
dianggap mu’tabar dalam madzhab.
Imam An Nawawi menyatakan
dalam Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab (1/71), mengenai tingkatan mufti
dalam madzhab As Syafi’i. Merujuk kepada pendapat Al Hafidz Ibnu Shalah, beliau
membagi mufti dalam madzhab menjadi beberapa kelompok:
1. Mufti Mustaqil
Mufti mustaqil adalah mufti
yang berada dalam peringkat tertinggi dalam madzhab, Ibnu Shalah juga
menyebutkannya sebagai mujtahid mutlaq. Artinya, tidak terikat dengan madzhab.
Bahkan mujtahid inilah perintis madzhab. Tentu dalam Madzhab As Syafi’i, mufti
mustaqil adalah Imam As Syafi’i. Imam An Nawawi sendiri menyebutkan pendapat
beberapa ulama ushul bahwa tidak ada mujtahid mustaqil setelah masa As Syafi’i.
(lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1/72)
Keistimewaan mufti mustaqil
yang tidak dimiliki oleh tingkatan mufti di bawahnya adalah kemampuannya
menciptakan metode yang dianut madzhabnya.
2. Mujtahid Madzhab
Yakni, mufti yang tidak
taklid kepada imamnya, baik dalam madzhab (pendapat) atau dalilnya namun tetap
menisbatkan kepada imam karena mengikuti metode imam. ( lihat, Al Majmu’ Syarh
Al Muhadzadzab, 1/72)
Contoh ulama Syafi’iyah yang
sampai pada derajat ini adalah Imam Al Muzani dan Al Buwaithi, sebagaimana
disebutkan Nawawi Al Bantani dan Syeikh Ba’alawi (lihat, Nihayah Az Zain, hal.
7 dan Bughyah Al Mustarsyidin, hal. 7)
Sedangkan Imam An Nawawi juga
menyebutkan bahwa Abu Ishaq As Syairazi yang masa hidupnya jauh dari masa Imam
As Syafi’i mengaku sampai pada derajat ini. ( lihat, Al Majmu’ Syarh Al
Muhadzadzab, 1/72)
Di kalangan muta’akhirin Imam
As Suyuthi juga mengaku sampai pada derajat ini, sebagaimana disebutkan Syeikh
Ba’alawi. (lihat, Bughyah Al Mustarsyidin, hal. 7)
Mufti golongan inilah yang
relevan bagi mereka perkataan Imam As Syafi’i yang melarang taklid, baik kepada
beliau maupun kepada para imam lainnya, sebagaimana disebutkan Imam An Nawawi
(lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73).
Dan hal itu tidak berlaku
kepada ulama yang berada di bawah level ini, sebab itulah Ibnu Shalah sendiri
berpendapat bahwa pelarangan taklid dari para imam tidak bersifat mutlak.
(lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1/72).
Golongan ini pula yang
menurut Ibnu Shalah dan Imam An Nawawi yang berhak mengoreksi pendapat Imam, di
saat mereka mengetahui ada hadits shahih yang bertantangan dengan pendapat
imam. Kenapa harus mereka? Karena bisa jadi imam sengaja meninggalkan hadits
walau ia shahih dikarenakan manshukh atau ditakhsis, dan hal ini tidak akan
diketahui kecuali yang bersangkutan telah menela’ah semua karya As Syafi’i dan
para pengikutnya, dan hal ini amatlah sulit, menurut penilaian ulama sekaliber
Imam An Nawawi sekalipun. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/99 dan
Ma’na Al Qaul Al Imam Al Muthallibi Idza Shahah Al Hadits fa Huwa Madzhabi)
Jika sesorang sampai pada
derajat ini, ia bisa menyelisihi pendapat imamnya sendiri, dan hal ini tidaklah
jadi persoalan, karena sudah sampai pada derajat mujtahid walau tetap memakai
kaidah imam. Tak heran jika beberapa pendapat Imam Al Muzani berbeda dengan
pendapat Imam As Syafi’i seperti dalam masalah masa nifas, Imam As Syafi’i
berpendapat bahwa maksimal masa nifas 60 hari sedangkan Al Muzani 40 hari.
(lihat, Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, 2/106)
3. Ashab Al Wujuh
Ashab Al Wujuh, yakni mereka
yang taklid kepada imam dalam masalah syara’, baik dalam dalil maupun ushul
Imam. Namun, mereka masih memiliki kemampuan untuk menentukan hukum yang belum
disebutkan imam dengan menyimpulkan dan menkiyaskan (takhrij) dari pendapat
Imam, sebagaimana para mujtahid menentukannya dengan dalil. Biasanya mereka
mencukupkan diri dengan dalil imam. (lihat Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab,
1/73)
Imam An Nawawi menyebutkan
bahwa para ulama As Syafi’iyah yang sampai pada derajat ini adalah ashab al
wujuh. Yakni mereka yang mengkiyaskan masalah yang belum di-nash oleh imam
kepada pendapat imam. Sehingga, orang yang merujuk fatwa mereka pada hakikatnya
tidak bertaklid kepada mereka, namun bertaklid kepada imam. (lihat, Al Majmu’
fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73)
Contoh
dari para ulama yang mencapai derajat ini adalah Imam Al Qaffal dan Imam Abu
Hamid atau Ahmad bin Bisyr bin Amir, Mufti Syafi’iyyah di Bashrah, sebagaimana
disebutkan Syeikh Muhammad bin Sulaiman Al Qurdi (lihat, Mukhtashar Al Fawaid
Al Makiyyah, hal.53).
4. Mujtahid Fatwa
Golongan ini termasuk para
ulama yang tidak sampai pada derajat ashab al wujuh, namun menguasai madzhab
imam dan dalilnya serta melakukan tarjih terhadap pendapat-pendapat dalam
madzhab. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73)
Perlu diketahui, dengan
adanya mufti-mufti yang berada di atas tingkatan ini, dalam madzhab sudah
banyak terjadi khilaf, baik antara imam dengan mujtahid madzhab juga disebabkan
perbedaan kesimpulan para ashab al wujuh terhadap pendapat imam. Disinilah
ulama pada tingkatan ini berperan untuk mentarjih.
Nawawi Al Bantani dan Syeikh
Ba’alawi menyebutkan bahwa yang berada dalam tingkatan ini Imam Ar Rafi’i dan
Imam An Nawawi yang dikenal sebagai mujtahid fatwa.(lihat, An Nihayah, hal. 7
dan Al Bughyah, hal. 7)
Hal ini nampak dalam corak
karya Ar Rafi’i seperti Al Aziz fi Syarh Al Wajiz, juga karya Imam An Nawawi
seperti Raudhah At Thalibin dan Minhaj At Thalibin. Sehingga bagi para penuntut
ilmu jika ingin mengetahu perkara yang rajih dalam madzhab bisa merujuk kepada
buku-buku tersebut.
5. Mufti Muqallid
Tingkatan mufti dalam madzhab
yang paling akhir adalah mereka yang menguasa madzhab baik untuk masalah yang
sederhana maupun yang rumit. Namun tidak memiliki kemampuan seperti mufti-mufti
di atasnya. Maka fatwa mufti yang demikian bisa dijadikan pijakan penukilannya
tentang madzhab dari pendapat imam dan cabang-cabangnya yang berasal dari para
mujtahid madzhab. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/74)
Ibnu Hajar Al Haitami,
Imam Ar Ramli dan As Subramilsi termasuk kelompok mufti Muqallid, walau
sebagian berpendapat bahwa mereka juga melakukan tarjih dalam beberapa masalah.
(lihat, Nihayah Az Zain, hal. 7 dan Bughyah Al Mustarsyidin, hal 7)
Jika tidak menemui nuqilan
dalam madzhab, maka ia tidak boleh mengeluarkan fatwa, kecuali jika mereka
memandang bahwa masalahnya sama dengan apa yang nash madzhab, boleh ia
mengkiyaskannya. Namun, menurut Imam Al Haramain, kasus demikian jarang
ditemui. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73).
Namun tentunya tidak boleh
berfatwa dengan semua pendapat tanpa melihat mana yang rajih menurut madzhab.
Syeikh Ba’ alawi menilai orang yang demikian sebagai orang yang bodoh dan
menyelisihi ijma. (lihat, Bughyah Al Mustarsyidin, hal. 9)
Jika demikian, para mufti
yang berada di jajaran ini akan banyak berinteraksi dengan karya-karya para
mujtahid fatwa, yang telah menjelaskan pendapat rajih dalam madzhab.
Penutup
Imam An Nawawi menyebutkan
bahwa para mufti selain mufti mustaqil, yang telah disebutkan di atas termasuk
mufti muntasib, dalam artian tetap menisbatkan diri dalam madzhab. Dan semuanya
harus menguasai apa yang dikuasai oleh mufti muqallid. Barang siapa berfatwa
sedangkan belum memenuhi syarat di atas, maka ia telah menjerumuskan diri
kepada hal yang amat besar! (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/74)
Tentu, amat tidak mudah untuk
masuk jajaran mufti di atas hatta mufti muqallid jika orang sekaliber Ibnu
Hajar Al Haitami dan Imam Ar Ramli masih dinilai berada dalam tingkatan itu!
Namun ironisnya banyak anak-anak muda yang baru mencari ilmu dengan tanpa beban
menyesat-nyesatkan siapa saja yang bertaklid. Kemudian menyerukan untuk
mentarjih pendapat sesuai berdasarkan dalil yang ia pahami seakan-akan ia
setingkat dengan Imam An Nawawi, atau bahkan menggugurkan pendapat mujtahid
mustaqil dengan berargumen, idza shahah al hadits fahuwa madzhabi, seakan-akan
ia satu level dengan Imam Al Muzani! Padahal yang bersangkutan belum
menghatamkan dan menguasai kitab fiqih yang paling sederhana sekalipun dalam
madzhab.
Mudah-mudahan
kita terlindung dari hal-hal yang demikian. Dan tetap bersabar untuk terus
mencari ilmu, hingga sampai kepada kita keputusan Allah, sampai dimana ilmu
yang mampu kita serap dan kita amalkan.
******* akhir kutipan *******
******* akhir kutipan *******
Wassalam